Bicara Pasar Lupa Konsumen; Nonsens[1]


Oleh: Moh. Junaidi

Dalam sejarahnya, pasar tradisional di Indonesia muncul sejak jaman pra-pemerintahan Indonesia, baik pada masa kolonial maupun kerajaan. Pasar tradisional, sudah lahir pada abad ke-10. Bahkan, secara jelas, dalam prasasti kerajaan Mpu Sindok, pasar tradisional sudah ada dengan sebutan ‘Pkan’. Pada awal-awal keberadaannya, pasar tradsional memberikan peranan yang sangat signifikan, tidak hanya dalam persoalan ekonomi, melainkan juga bagi perkembangan wilayah dan terbentuknya kota.

Jasa besar pasar tradisional di Indonesia tidak bisa ditolak, terutama jika dilihat melalui konteks historisnya. Tetapi demikian, seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, jasa besar pasar tradisional (berikut para pelaku di dalamnya) mulai diabaikan.

Pasar tradisional kini dipandang sebagai ruang yang begitu kumuh, ruwet, mengganggu keindahan (estetika) kota dan menimbulkan kemacetan transportasi perkotaan. Oleh sebab itu, lahirlah satu gagasan bahwa pasar tradisional harus disingkirkan jauh-jauh dari kota.

Bersamaan dengan itu pula, muncullah pasar modern dengan konsepnya yang cukup memukau, seperti mall, departmen store, pusat-pusat perbelanjaan mewah dan modern nyaris di seluruh pusat-pusat kota di Indonesia. Keberadaan pasar modern itu kemudian diklaim memiliki segala keunggulan (simpel dengan suasana belanja yang lebih bersih dan nyaman), yang pada akhirnya menarik minat masyarakat untuk meninggalkan pasar tradisional.

Sejalan dengan itu, perkembangan teknologi dan informasi sudah menggeser peradaban dan budaya sebagian besar masyarakat dunia, terutama mereka yang hidup dengan latar belakang kultur perkotaan. Masyarakat di seluruh dunia sudah berupaya melakukan transaksi ekonomi dan memperoleh informasi, bahkan dalam waktu yang cukup singkat berkat kecanggihan benda sakti bernama teknologi satelit dan komputer. Perusahaan-perusahaan besar pun sangat diuntungkan, terutama ketika menjalankan agenda politik ekonominya (politcal economy).

Dalam konteks Dunia Ketiga, masyarakat konsumen mutakhir tumbuh beriringan dengan sejarah globalisasi ekonomi dan transformasi kapitalisme konsumsi. Hal itu ditandai dengan menjamurnya pusat-pusat perbelanjaan dengan gaya dan setting seperti mall shopping, industri mode atau fashion, industri kecantikan, industri kuliner, industri nasihat, industri gosip, kawasan huni mewah, apartemen, iklan dari berbagai barang mewah dengan merek yang asing, makanan instan (fast food), serta reproduksi dan transfer gaya hidup melalui iklan dan media televisi maupun cetak yang sudah sampai ke ruang-ruang kita, bahkan ke ruang yang paling privat sekalipun.

Sistem kapitalisme ekonomi telah melahirkan budaya baru bagi masyarakat kelas atas. Konsumerisme dan gaya hidup hedonis ala Barat menjadi sesuatu yang sangat diimpikan dalam praktik keseharian, tapi di lain pihak nalar ketimuran masih menjadi pijakan, terutama ketika mengedepankan aspek etis-moralitas. Itulah yang pada akhirnya menyebabkan mansuia Indonesia berada dalam situasi ambang dan gamang.

Dalam sistem kapitalis hubungan manusia ditransformasi pada hubungan objek yang dikontrol oleh kode atau tanda tertentu. Perbedaan status dimaknai sebagai perbedaan konsumsi tanda, sehingga kekayaan diukur dari bayaknya tanda yang dikonsumsi.

Mengkonsumsi objek tertentu menandakan kita berbeda atau dianggap sama dengan kelompok sosial tertentu. Demikianlah kode telah mengambil fungsi kontrol pada subjek.

Menurut pandangan Baudrillard, proses konsumsi dapat dianalisis dalam perspektif dua aspek mendasar yaitu: pertama, sebagai proses signifikansi dan komunikasi yang didasarkan pada peraturan (kode) di mana praktik-praktik konsumsi masuk dan mengambil maknanya. Di sini konsumsi merupakan sistem pertukaran, dan sepadan dengan bahasa. Kedua, sebagai proses klasifiaksi dan diferensiasi sosial di mana objek-objek/tanda-tanda ditahbiskan bukan hanya sebagai perbedaan yang signifikan dalam satu kode tetapi sebagai nilai yang sesuai (aturan) dalam sebuah hirarki. Sebagai contoh, bagaimana perusahaan-perusahaan multinasional menegaskan bahwa perkembangan pesat budaya konsumersime mengambil perannya, sepertiu Coca Cola, perusahaan minuman ringan, atau Mc Donald, perusahaan makanan siap saji serta Unilever, Twenty One (bioskop) dan lain-lainnya menjadi perusahaan yang mendominasi pasar di bidangnya, dan dianggap menjadi produk yang nilainya sangat prestisius.

Liberalisasi dalam bidang ekonomi menjadi pintu masuk bagi penguasaan ekonomi Dunia Ketiga berikut dengan dampak yang membayanginya. Kekuasaan perusahaan-perusahaan multinasional dan transnasional ini menjadi pemegang kunci dalam perkembangan ekonomi, politik, dan sosial-budaya (hingga pada tingkatan yang paling dasar dari masyarakat). Lasswell, membagi masyarakat kapitalisme global pada tiga bentuk kekuasaan yang beroperasi di belakang produksi dan konsumsi yaitu; kekuasaan kapital, kekuasaan produser, serta kekuasaan media massa.

Wacana tersebut, sebenarnya sudah tidak asing lagi, bahkan puluhan tahun yang lalu Theodor Adorno dan Horkheimer menyebutnya sebagai kecenderungan fasisme budaya, melalui mekanisme industri budaya (culture industry). Sebuah produk atau komoditas dalam sudut pandang kapitalisme merupakan sebuah ilusi (illusion) dan manipulasi (manipulation) sebagai cara untuk mendominasi selera publik. Penyatuan budaya yang lahir dari rahim media massa menjadi agen dari sebuah konstruksi yang paling ampuh untuk perubahan gaya hidup, interest, kebutuhan dan bahkan ideologi.

James Lull, melihat bahwa media massa terutama televisi tidak sekadar menggambarkan realitas sosial, ia juga menciptakan realitas itu sendiri.  Betapa kuatnya, saluran televisi dan media massa dalam menciptakan satu trend baru, mulai dari cara berpakaian, gaya rambut, dan ikon-ikon popular lainnya. Media massa terbukti menjadi agen yang sangat kuat memberikan pengaruh dalam jagat hiburan bagi kaum muda di hampir seluruh belahan dunia.

Sebagai ruang di mana transaksi barang dan jasa berlangsung, pasar konvensional digeser oleh wujud pasar modern atau hipermarket (hyper-market) yang diklaim sangat superior, yaitu pasar produksi global dilampaui batas pengertiannya. Pasar modern telah menjadi arena reproduksi yang sempurna terhadap kebudayaan pragmatis budaya Barat. Sebuah tatanan, di mana penuh dengan siasat hegemoni. Ia tidak hanya menawarkan satu produksi berupa barang (untuk dikonsumsi), secara bersamaan, ia juga memproduksi kebudayaan.

Logika budaya kontemporer merupakan budaya yang berpusat pada label dan simbol sebagai sebuah representasi. Sistem kapitalisme, telah menjamah banyak ruang kehidupan manusia bahkan pada wilayah mental kolektif dengan mendirikan aturan, menciptakan jaringan semiotik serta mencetak karakter manusia dengan nalar konsumerisme. Logika konsumerisme sudah menyisihkan status yang tradisional, yang luhur dan tinggi dari representasi artistik, begitu kata Jean Baudrillard.

Manusia kontemporer saat ini sedang berupaya menata kembali ranah kehidupan dan memperkuat sisa-sisa optimisme. Budaya konsumerisme pada tingkat tertentu harus bisa dipahami dalam kapasitasnya sebagai perpanjangan kepentingan ideologi pasar yang memanfaatkan bergesernya sensibilitas masyarakat (dalam arti yang terdalam). Sebuah pergeseran sensibilitas yang dari waktu ke waktu terus berlanjut dan diperparah pada lingkaran konsumsi massa (mass consumption) yang menganggap budaya materi merupakan segalanya. Dengan kata lain, mengubah ungkapan terkenal milik filsuf Prancis, Rene Descartes, “aku berpikir, maka aku ada”, menjadi “aku berbelanja, maka aku ada,” maka berbelanjalah sebanyak-banyaknya, semahal-mahalnya!

*) Penulis alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, prodi Aqidah dan Filsafat Islam. Kini mengabdi di NU.

Daftar bacaan:

Baudrillard, Jean. Masyarakat  Konsumsi. Yogyakarta: Penerbit Kreasi Wacana, 2006

Damsar, Prof. Dr. Pengantar Sosiologi Pasar. Jakarta, Gramedia: 2018

Eco, Umberto. Tamassya dalam Hiperrealitas. Yogyakarta: Penerbit Jalasutra, 2004

Featherstone, Mike. Posmodernisme dan Budaya Konsumen. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008

Kaplan, David dan Robert A. Manners. Teori Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002

Lecthte, John. 50 Filsuf Kontemporer dari Strukturalisme sampai Postmodernisme. Yogyakarta: Kanisus, 2001

Miksic, John.ed. Indonesian Heritage, Ancient History. Jakarta: Archipelago Press, 2003

Margaretha, Selu. Hiperrealitas dan Ruang Publik. Jakarta: Penaku, 2001

Piliang, Yasraf Amir. Dunia yang Dilipat, Realitas Kebudayaan Menjelang Milenium Ketiga dan Matinya Posmodernisme. Jakarta, Mizan: 1998



[1] Tulisan ini sebagai respons dari diskusi “Pasar Tradisional dalam Titik Nadir” karya Hermanto di Kantor MWCNU Pasongsongan. Tulisan ini mencoba melihat pasar tidak hanya dari satu sudut pandang; ekonomi. Melainkan, dengan menjadikan Culture Studies sebagai pijakan utama, tulisan ini dimaksudkan untuk mengurai hal-ihwal yang beririsan dengan pasar dan dinamikanya.

Posting Komentar

0 Komentar