Belajar pada Katak

Sumber Ilustrasi: doc/g

 Oleh: Muhammad Muhibbuddin*

Ada yang menarik, dulu di kelas Ciritcal Reading, ketika masih mengikuti program English Extension Course (EEC), di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Dalam kelas tersebut, para mahasiswa yang jumlahnya sekitar lima belas orang disodori tek-teks bacaan berbahasa Inggris dalam berbagai bentuk. Ada yang berbentuk puisi (poem), cerita atau dongeng (fairy tale) dan artikel populer (popular article).  Topik yang diangkat oleh semua bacaan tersebut adalah soal katak (frog). Teks yang agak sulit dipahami adalah puisinya David Barton, seorang sastrawan plus fotografer, yang berjudul Frogs, mengingat gaya (style) tulisan Barton banyak menggunakan  bentuk bahasa dan metafor yang beragam dan unconventional.

Di antara berbagai jenis bacaan tentang katak di atas, ada dua teks menarik, yaitu The Frogs (Anonym) yang berbentuk cerita dan Accept The Fact That You Are Only A Frog In A Well,  karya Bashyam Narayanan berbentuk puisi. Dua teks ini menarik, disamping mengandung nilai-nilai filosofis, juga memberikan perspektif baru dalam memandang kehidupan. Selain itu, juga mengandung nilai-nilai motivasi, spirit dan dorongan (encouragement) untuk menjadi lebih baik.

Dari lubang hingga samudra

Dalam teks The Frogs diceritakan bahwa ada sekawanan katak yang sedang melakukan perjalanan dengan melintasi kekayuan. Dua dari mereka tergelincir dan jatuh ke dalam lubang yang dalam (deep pit).  Melihat dua kawannya terjerumus ke dalam lubang, katak-katak yang lain kemudian bergerombol di sekitar lubang tersebut.  Ketika kawanan katak ini melihat dua temannya meloncat-loncat hendak keluar dari lubang yang memerangkapnya itu, mereka menyerukan supaya  dua temannya yang kena sial itu lebih baik diam saja di dalam lubang itu, tidak perlu berusaha keluar. Namun kedua katak tersebut mengabaikan seruan teman-temannya itu. Kedua katak itu tetap melompat-lompat sekuat tenaga untuk berusaha keluar dari lubang.

Karena dianggap tidak mempedulikan seruannya itu, kawanan katak itu memberi seruan lebih keras lagi terhadap kedua temannya tersebut bahwa keduanya jangan mempunyai keinginan keluar dari lubang tersebut, berhenti meloncat-loncat, lebih baik mati di dalam lubang itu saja.  Tidak diketahui kenapa kawanan katak itu bukannya memberikan dukungan terhadap dua kawannya yang kena bencana itu untuk keluar dari lubang sial tersebut, malah  menganjurkannya untuk tetap tinggal di dalamnya sampai mati. Kejam.!.

Seruan kawanan katak tersebut didengarkan oleh salah satu katak yang ada di dalam lubang itu,sehingga ia pun berhenti melompat. Akibat terpengaruh seruan dari kawan-kawannya yang ada di atas lubang itu, pupus sudah usahanya untuk keluar. Menyerah. Akhirnya mati di dalam lubang. Sementara katak yang satunya  tetap terus meloncat  sekuat tenaganya untuk keluar lubang. Ia tidak menyerah sedikit pun. Hingga akhirnya dengan kerja keras dan usahanya yang tanpa lelah itu, meski diliputi beragam keterbatasan, dirinya bisa keluar dari lubang dengan meninggalkan temannya yang sudah mati di dalamnya.

Ketika dirinya mampu keluar dari lubang tersebut, kawan-kawannya yang menyerukan untuk tetap diam di dalam lubang tersebut terheran-heran dan bertanya kenapa katak yang selamat itu tetap melompat dan berusaha keluar, apakah ia tidak mendengarkan seruan teman-temannya itu? “Didn’t you hear us?”. Begitulah pertanyaan kawanan katak itu kepada temannya yang berhasil keluar dari lubang mematikan tersebut. Katak yang selamat itu cukup menjawab: “Aku tidak mendengarkan seruan kalian”.

Teks berikutnya berupa puisi hasil karya Bashyam Narayanan. Melalui puisinya ini Narayanan secara implisit menegaskan bahwa manusia itu, setinggi apapun ilmunya, seagung apapun kekuasaannya dan sebesar apapun reputasinya,  akan seperti katak di dalam sumur (in a well), jika tidak berusaha memahami dan menjangkau realitas dan kebenaran tertinggi (the ultimate reality), yang laksana samudra (ocean).  

Dalam sebait puisinya, Narayanan menyatakan: However much learnned we are//,However big our possession are//, However large the kingdome we rule// However wide our popularity is//,However deep our knowledge is//, However widespread our domain is//, We need to accept that//,We are no better than a frog//, in a well..........we, with our sixth sense//, Can comprehend what ocean can be//, and need to be on continous effort//, To understand the ocean//, And reach there, // The ultimate reality.

Abaikan pikiran negatif, jadilah lautan!

Dari kisah katak di atas, bisa ditarik sebuah pelajaran bahwa manusia perlu mengabaikan atau mengenyahkan pikiran negatif  jika hendak  mencapai tujuan besarnya. Pikiran negatif dalam bentuk cemoohan, bullying, hinaan, narasi negatif dan sejenisnya dari siapapun merupakan racun pembunuh. Karenaanya di antara langkah terbaik untuk menanggapi cemoohan, hinaan, hujatan, kenyinyiran dan pikiran negatif lainnya adalah mengabaikannya. Beragam narasi negatif, penilaian miring, ujaran kebencian dan sejenisnya jangan “dimakan”, cukup abaikan, tidak perlu didengarkan dan (jika ada) ambil sisi-sisi positifnya saja. 

Tidak semua omongan orang bersifat membangun dan mengarahkan ke hal yang positif. Sebagiannya justru bersifat melemahkan dan menyesatkan. Karenanya, tidak perlu ditanggapi omongan orang yang cenderung menghambat, menghalang-halangi bahkan menggagalkan tindakan baik kita. Jika langkah kita memang sudah benar dan tujuan kita baik, campakkan segala hal negatif yang terlontar dari mulut orang lain atas kita. Hanya  pikiran positif yang perlu direspon.; hanya seruan dan narasi yang membangun dan memberi nilai manfaat yang perlu didengarkan.

Berpikir positif, kata Norman Vincent Peale merupakan pola atau gaya berpikir yang terbiasa mencari hasil-hasil terbaik dari kemungkinan-kemungkinan terburuk. Di era social media  sekarang ini, beragam bentuk pikiran negatif, dari bullying hingga hinaan yang tak manusiawi sering berseliweran. Untuk mencapai tujuan besarnya, seseorang tidak boleh terpengaruh, apalagi terprovokasi dengan ujaran negatif tersebut. Seseorang cukup fokus pada hal-hal yang positif di tengah menyeruaknya beragam hal yang negatif. 

Ada sebuah pandangan yang menyatakan bahwa diri kita sebagian atau bahkan keseluruhan terbentuk karena penilaian orang terhadap kita. Eksistensi kita tidak sepenuhnya terkonstruk dari dalam (from within), melainkan juga dari luar (from without), diri kita. Karena itulah, kita perlu selektif dalam menaggapi hal-hal dari luar, termasuk penilaian dan seruan orang lain, yang berhubungan dengan diri kita. Jika orang lain merasa bebas berpendapat apa saja terhadap diri kita, kita pun bebas untuk merespon atau mengabaikannya. Menghadapi pandangan orang lain yang cenderung negatif terhadap diri kita, prinsip kita simpel saja: biarkan anjing menggongong, kafilah tetap berlalu.

Langkah lainnya supaya tidak terpengaruh pikiran negatif, seorang individu perlu mempunyai kualitas pikiran dan jiwa yang samudra, bukan pikiran yang sempit. Hanya pribadi berkualitas samudra, kata Nietzsche, yang mampu menampung hal-hal yang baik maupun yang brengsek. Artinya, pribadi yang samudra tidak akan terpengaruh apalagi larut ke dalam pikiran dan narasi negatif yang datang menyerbunya. Untuk menjadi pribadi yang samudra, seseorang perlu belajar untuk mencapai realitas tertinggi (the ultimate reality). 

Dari sinilah barangkali pentingnya tasawuf yang salah satu tujuannya mengantarkan seseorang untuk mencapai realitas hakiki yang luasnya sungguh tak bertepi, sehingga jiwa dan pikirannya bisa seluas samudra, dan karenanya sanggup mengakomodir segala hal tanpa harus dirinya terpengaruh olehnya. Sepanjang manusia tidak mampu mencapai hakekat kenyataan yang mahaluas ini,selama itu pula ia menjadi katak di dalam sumur; jiwa dan pikirannya sempit sehingga mudah goyah dan termakan pikiran negatif, terutama  pikiran negatif yang berasal dari luar dirinya.

*Muhammad Muhibbuddin adalah alumnus filsafat UIN Sunan Kalijaga dan English Extension Course (EEC), Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. 





Posting Komentar

0 Komentar