Pasar Tradisional dalam Titik Nadir

Foto: Dokumnen MWCNU Pasongsongan
Oleh: Hermanto*

Tulisan ini berawal dari kegundahan penulis saat menyaksikan sebuah toko kelontong di Pasar Pao Pasongsongan yang terlihat sepi oleh pengunjung. Sementara, di hadapannya berdiri gagah dua bangunan besar dengan bertuliskan “toko” dipadati pembeli.

Bagi sebagian orang, pemandangan semacam itu bukanlah hal yang aneh. Pasalnya, mustahil sebuah toko yang berukuran dua kali gerobak sapi mampu bersaing dengan ritel modern yang menjual berbagai kebutuhan serba ada. Belum lagi pelayanan dan fasilitasnya yang tentu saja membuat betah para pengunjung.

Dapat dipastikan, persaingan yang tak seimbang itu akan menjadi pemicu toko kelontong tersebut gulung tikar. Begitu pula dengan pedagang kecil lainnya yang pada gilirannya juga bernasib sama.

Menjamurnya toko modern yang berbentuk mini market memang menjadi ancaman bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah. Lebih-lebih zona toko modern tersebut justru tidak berjarak dengan pasar tradisional.

Tidak menutup kemungkinan, fenomena semacam ini tidak hanya kita jumpai di Pasongsongan, melainkan di beberapa kecamatan di Sumenep juga mengalami hal yang sama. Sehingga wajar, apabila AC Nielsen (2010) dalam penelitiannya mencatat bahwa perkembangan pasar tradisional mengalami penurunan 8,01 persen dalam setiap tahunnya. Sebaliknya, toko modern meningkat 31,4 persen pertahun.

Jadi, keterancaman pasar tradisional bukanlah wacana semata. Akibat ekspansi pasar modern yang tak terkontrol, ribuan orang harus kehilangan mata pencarian di pasar tradional. 

* * *

Lantas, siapa yang paling bertanggung jawab atas persoalan ini? Bukankah sangat jelas dalam Peraturan Daerah (Perda) Sumenep Nomor 5 Tahun 2013 tentang perlindungan, pemberdayaan pasar tradional dan penataan pasar modern merupakan upaya serta tanggung jawab pemerintah daerah untuk melindungi  pasar  tradisional,  usaha  mikro, kecil, menengah,  dan  koperasi  dari  persaingan  yang tidak  sehat  dengan  pasar modern, toko modern  dan sejenisnya sebagaimana tertuang dalam ayat (6).

Sebagai bentuk upaya melindungi pasar tradisional, dalam ayat (7) Pemerintah Daerah juga bertanggung jawab mengatur dan menata keberadaan dan pendirian pasar modern sehingga tidak merugikan usaha  mikro, kecil,  menengah, dan koperasi.

Sementara itu, penataan pasar modern diatur dalam Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 26 Tahun  2013 yang menyebutkan jarak antara pasar tradisional dan toko modern ialah 500 meter hingga 1 kilo  meter, baik toko modern milik perorangan atau perusahaan.

Sejatinya, Perda dan Perbup tersebut merupakan respon atas persoalan yang tengah dihadapi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah, khususnya di Sumenep. Namun, karena peraturan tersebut masih jauh dari implementasi, maka nasib ribuan orang yang hidupnya bergantung pada pasar trasional harus kehilangan mata pencariannya.

Begitupula dengan Pasar Pao Pasongsongan yang dulunya merupakan kejayaan pedagang kecil, kini hanya sebuah legenda yang pada akhirnya mereka terpaksa menjadi penonton permainan para pemodal dalam meraup banyak rupiah.

            

*Penulis adalah Ketua Ranting NU Padangdangan.

Posting Komentar

0 Komentar