Sang Penyair

Ilustrasi gambar: doc/g

Cerpen: Yant Kaiy*

NU Online Pasongsongan-Aku tidak tahu siapa namanya yang sebenarnya. Tetapi orang-orang di kampungku biasanya memanggil dengan sebutan “Mbah Puisi”. Perawakannya tinggi dan kurus. Usianya sekitar setengah abad, mungkin juga lebih. Rambutnya panjang lurus dan sudah penuh uban. Kulitnya kuning. Lengannya ditumbuhi bulu-bulu halus. Hidungnya mancung mirip orang Eropa. Satu keistimewaan yang tidak pernah absen untuk melakukannya adalah membaca puisi.

Jika malam sudah larut, yang terdengar cuma suara Mbah Puisi menyusuri jalan-jalan kampung kami. Di sela-sela suara peronda serta lolongan anjing, dan itu sudah bukti bahwa Mbah Puisi mulai beraksi melakukan kebiasaan rutinnya. Ia akan kelayapan di setiap sudut kampung, bahkan sampai ke kampung tetangga. Buku lapuk yang termakan usia selalu ia bawa kemana pun ia pergi.

Dalam kesunyian  kampung seperti malam ini, suara khas Mbah Puisi sayup-sayup terdengar. Sepertinya menghadang datangnya fajar atau meninabobokan orang-orang yang pada mendengkur berkubang air liur setelah seharian bekerja berat.

Apa kelakuan Mbah Puisi itu ada yang menyuruhnya? Menurut keterangan yang kudapat dari banyak orang, tak ada seorang pun yang memerintahkan  si Mbah untuk tugas semacam itu. Bahkan Pak Kades agaknya juga tidak tahu-menahu dengan kebiasaan si Mbah itu. Maka wajar pula jika tidak satu orang pun yang menghiraukan atas pekerjaan aneh lelaki tua itu.

Tak pernah digaji. Tak pernah diperintah, tapi ia ibarat burung malam yang menyetubuhi sepi, memamerkan suaranya yang khas. Masih menurut cerita orang yang umurnya sebaya dengan usia Mbah Puisi. Laki-laki renta itu hidup menyendiri di sebuah rumah mewah, sebelum di kampong ini banyak pendatang baru. Tapi itu dulu dan kini tinggal cerita burung saja.

Ia tidak dan belum pernah kawin, kata para tetanggaku kemarin. Kekayaannya akhirnya ludes lantaran untuk menyumbang pembangunan sebuah mesjid atau panti asuhan. Tak jarang pula ia kalau ada orang miskin dibantunya dengan ikhlas. Setelah itu ia hanya hidup tanpa kawan di sebuah gubuk sederhana, berdinding bambu. Kekayaan utamanya adalah buku, Koran dan majalah, ditambah sebuah mesin ketik tua yang sudah karatan. Malah orang-orang kampung sekarang menganggap Mbah Puisi “orang sinting”. Keterlaluan. Betapapun orang-orang kampung pada benci pada lelaki tua-bangka itu, tapi bagiku memiliki catatan tersendiri. Perasaanku terdorong untuk mengenalnya lebih dekat lagi untuk menyingkap orang aneh itu. Terlebih aku punya bakat dalam menulis puisi, begitu sebagian teman-temanku bilang pada sebuah kesempatan ketika aku mengikuti ajang pencarian bakat di salah salah satu media massa di kota kecilku.

Begitulah. Ketika aku pulang dari sekolah, di sudut rumah bambu kulihat sosok Mbah Puisi tengah asyik mengetik. Aku mengintipnya. Di ruangan yang pengap. Ia mencemari ruangan itu dengan asap nikotin. Aku penasaran. Aku masuk secara diam-diam. Pintu depan yang hanya muat satu orang kuketuk. Seketika suara mesin ketik terhenti. Konsentrasinya buyar demi melihat kedatanganku. Ia terjingkat. Mata itu menatap dingin ke wajahku. Dari sinar matanya dapat kuterjemahkan, ada keresahan yang menggelayut di garis-garis parasnya.

“Selamat siang, Mbah!” kataku uluk salam.

Ia tidak menjawab. Aku gusar, tapi cepat-cepat aku lempar senyuman tulus padanya.

“Agaknya Mbah sibuk dengan mengetik? Eh, mengetik apa, Mbah?” ujarku tak peduli dengan sikap lelaki di hadapanku.

“Puisi,” balasnya datar dan serak.

“Eh… puisi? Untuk siapa, Mbah?”

“Ya, untuk siapa saja yang mau. Untuk dikirim ke media cetak.”

“O ya?” seruku tak terkontrol.

“Ada apa anak muda?”

“Ingin berkenalan dengan,  Mbah. Bolehkah?”

Ia termangu sejenak. Tapi lewat jemari tangannya dapat kutangkap isyarat kalau ia menyilakan aku duduk. Aku menurut dan duduk di kursi yang beranyamkan rotan hampir jebol. Ia sendiri masuk dan mengambil sesuatu.

Aku terkesima. Buku lusuh bertumpuk-tumpuk agaknya antologi puisi yang ditulis dengan tangan. Ada beberapa buku lain yang merupakan kliping sajak yang sudah dipublikasikan di koran atau majalah.  Sementara ia sedang melanjutkan mengetik, dan aku  asyik mencermati kalimat-kalimat pendek indah karyanya. Puas, setelah membaca, aku pun pamit pulang dan kali ini Mbah Puisi membalas dengan senyuman lebar.

Esoknya aku datang dan selalu datang lagi.  Kami semakin karib, bahkan semakin saling membutuhkan. Tapi yang belum sempat kukorek, keberadaan Mbah Puisi yang aneh suka melantunkan syair-syair tiap malam. Dan rupanya Mbah Puisi tidak suka jika aksinya itu banyak orang yang mengetahuinya. Termasuk aku. Aneh, benar-benar ajaib.

Pada suatu senja. Kami terlibat percakapan yang agak bebas. Mbah Puisi rupanya mencanangkan “keterbukaan” buat aku. Bahkan lebih familier.

“Kenapa kamu suka mengunjungiku, Kacong?” tanyanya tanpa ekspresi.

“Saya ingin belajar mengarang pada si Mbah,” jawabku jujur.

“Siapa yang menyuruhmu, Kacong?”

“Tuhan, Mbah,” jawabku lagi sekenanya. Mbah Puisi menikam manik-manik mataku lalu menhela napas. Menghisap dalam-dalam asap kretek yang terus mengepul.

“Kamu akan menyesal kalau belajar padaku, Cong.”

“Kenapa, Mbah?”

“Aku tidak bisa memberikan apa-apa.”

“Saya hanya mau belajar, Mbah. Tidak lebih.”

Mbah Puisi terdiam.  Hening beberapa lamanya, sebelum  suaranya keluar lagi dari bibirnya yang terkatup rapat-rapat.

“Yah…kalau begitu, baiklah, asalkan kamu sungguh-sungguh. Dengan demikian, ternyata masih ada seseorang yang mau bersahabat dengan Mbah. Aku bangga. Aku bahagia,” katanya lirih. Aku terkejut karena dari kedua sudut matanya bergayutan air bening. Air itu meleleh lewat pipinya yang mulai mengendor. Pelan mirip anak sungai.

“Terima kasih, Mbah! Terima kasih!” kupeluk tubuh ringkihnya kuat-kuat. Dia semakin sesenggukan. Aku sendiri tak mengerti, kenapa harus ada tangis diantara kami. Tangis yang susah kumaknai.

Selanjutnya aku pulang. Ada kenangan manis yang sukar terhapuskan dari memori otakku.

Paginya lagi. Aku mempercepat langkah menuju gubuk reyot.

“Mbah! Mbah! Saya datang. Bukakan pintu, Mbah!” teriakku memanggil-manggil namanya, tapi tetap diam tidak ada sahutan dari dalam.

“Mbah?! Bukakan pintunya, bukakan, Mbah!” teriakku galau. Tetapi tetap tak ada jawaban dari Mbah Puisi. Aku curiga. Mulai kudobrak pintu itu dan aku  pun menyerbu masuk. Pandanganku tertuju pada meja kerja Mbah Puisi. Tidak ada mesin ketik miliknya. Mengerling lagi ke sudut ruangan, seketika mataku terbelalak. Kuyakini lagi pemandangan yang agak ganjil. Mbah Puisi tergolek. Pucat. Kugoyang-goyangkan tubuhnya. Tidak bergerak. Aku undur ke belakang. Dan mataku semakin kabur, kepalaku spontan pening. Aku berteriak histeris.

“Mbah, puisiii…” kutubruk jasad yang sudah kaku itu.

Dalam kepanikan. Orang-orang berebut untuk lebih dulu masuk ke pondok Mbah Puisi. Aku dengan isak tangis memperhatikan sebuah sajak yang ditulis di atas kertas folio. Bunyinya begini: Lahirlah/Berkaryalah/Dan/Matilah dengan damai!

“Oh, Tuhan…”  hanya itu yang keluar dari bibirku. Ya, hanya itu.


------------------

*Cerpenis adalah penyair dan esais. Berbagai tulisannya telah dimuat di berbagai media lokal dan nasional. Saat ini penulis bergiat di Lesbumi MWCNU Pasongsongan sebagai sekretaris.


Posting Komentar

0 Komentar