Jean Baudrillard dalam Membedah Mitos-mitos Budaya (2007) menjelaskan bahwa di era virtual tidak ada yang namanya kebenaran, melainkan manipulasi; tidak ada kepercayaan, melainkan perdayaan; tidak ada realitas, melainkan fatamorgana. Sebab itulah, kejelian sangat dibutuhkan untuk menguak mitos yang dimunculkan di berbagai media informasi, baik itu yang berupa berita, iklan apalagi kampanye politik. Bahkan, dalam tontonan biasa, mitos akan menyusup di dalamnya untuk mempengaruhi publik.
Roland Berthes, sebagaimana dikutip Baudrillard mengasumsikan mitos sebagai suatu sistem komunikasi yang mengandung pesan dengan fungsi ganda, yaitu menunjukkan atau menjelaskan yang kemudian memaksa. Walaupun mitos merupakan suatu sistem komunikasi, namun tidak serta-merta mitos terbatas pada bentuk bahasa lisan atau tulisan.
Berthes menilai bahwa semua hal bisa menjadi mitos, seperti fotografi, film, olahraga, laporan, dan seterusnya. Misalnya, anggur dianggap oleh bangsa Prancis sebagai milik mereka sendiri. Karena itu, dia menganggap mitos menjauh dari subtansinya. Apa yang dimunculkan mitos hanyalah sekedar pencitraan belaka tentang baik dan buruk. Apalagi dengan dukungan teknologi tinggi (high technology) seperti saat ini, maka mitos tak lebih sekadar suatu sistem komunikasi untuk menyembunyikan sebuah keaslian realitas atau pembodahan yang sempurna.
Dalam bahasa mitos, Berthes menemukan pola tiga dimensi, yaitu penanda, petanda, dan tanda. Penanda adalah konsep untuk membuat sebuah petanda. Petanda adalah pelaksanaan dari konsep sehingga menjadi sebuah citra. Dari penggabungan konsep dan citra adalah tanda, sehingga mampu melahirkan mitos. Kesempurnaan mitos tergantung kecermelangan melahirkan konsep sehingga menerapkannya menjadi tanda yang tak tercela atau mitos yang sempurna; mitos yang mampu menghipnotis publik. Semisal, mustahil mencela film-film Barat yang begitu sempurna mengarungi dunia tanda, dari pada film kita sendiri yang kurang total dalam pencitraannya (tanda).
Karena mitos merupakan sistem komunikasi yang membujuk, memikat, dan memaksa secara langsung atau tidak langsung, maka mitos selalu mengandung unsur ideologi-politik. Semisal, untuk menanamkan sebuah Indonesia yang stabil, maka acara laporan khusus pada masa Orde Baru menjadi acara primadona; seorang ustadz akan selalu memperlihatkan penampilan yang berwibawa dalam berpakaian, berbicara (bahasa lisan atau tubuh) tak lain hanya untuk merebut perhatian dan image yang baik di hadapan publik, walau pada kenyataannya sikap dan tindakannya jauh dari apa yang ditampilkan.
Keganjilan juga terjadi pada dunia senitron pertelivisian kita saat ini yang dipandang terlalu ideologis-politis. Di mana unsur religiusitas yang marak dalam senitron kita sebenarnya tak mampu menyadarkan manusia secara hakiki, karena religiusitas yang diangkat ke permukaan hanya bersifat simbolik dan tidak masuk akal. Semisal, orang mati bangkit kembali dari alam kubur, kemudian menjadi hantu yang bergentayangan. Hal seperti ini hanya melenyapkan esensi agama.
Mitos di era virtual saat ini telah mencapai puncak pengaruhnya, sehingga masyarakat hanya menjadi konsumen yang setia. Sehingga motif yang terkandung di dalamnya tidak akan terungkap. Masyarakat hanya bisa menangkap pesan dari pencitraan, kemudian asumsi yang muncul adalah baik dan buruk, cantik dan jelek, wibawa dan tidak, walau pada hakikatnya tidak demikian.
Sebab itulah, di era virtual ini kita dengan begitu mudah mendapatkan pencitraan sesuai dengan apa yang diinginkan, semisal menjadi binta film atau penyanyi tanpa harus merasakan pedihnya sebuah proses; menjadi pemimpin tidak harus memiliki kapabilitas yang memadai. Artis saja bisa menjadi pemimpin. Semua itu tergantung pada totalitas bagaimana mengolah citra dan mitos yang mengiringinya.
Oleh karena itu, agar terlepas dari jerat mitos, perlu adanya ketajaman analisis tentang mitos, baik itu tentang dimensi mitos (konsep, citra, dan tanda) atau pula motif dari mitos itu sendiri (politis-ideologis).
*Penulis adalah Sekretaris Lemabaga Takmir Masjid (LTM) MWCNU Pasongsongan.
0 Komentar