Ketika politik identitas pada momen pilpres beberapa tahun silam masih menyisakan paham keagamaan yang eksklusif di tangah warga, tentu saja pemahaman keislaman yang moderat (washatiyah) dan toleran (tasamuh) yang diusung NU kian menuai banyak kendala. Beragam fitnah dan ujaran kebencian pun kerap tertuju kepada pengurus NU, baik di tingkat PB (Pengurus Besar) ataupun PAR (Pengurus Anak Ranting).
Di tengah kondisi yang demikian itu, lahirlah
sosok tokoh lokal berkaliber nasional yang tak dinyana ternyata mampu hidupkan
NU di Ranting Soddara Timur. Padahal, daerah tersebut disinyalir sebagai zona yang
tidak memungkinkan NU secara organisatoris bisa berkembang. Pasalnya, melihat
fakta sebelumnya, kegiatan NU nyaris hampir tidak ada di sana.
Namun, ketika Kiai Wahedi hadir sebagai ketua di ranting tersebut, harapan tentang berkembangnya paham Ahlussunnah wal Jama'ah (Aswaja) an-Nahdliyah kian tidak hanya sekadar impian belaka. Hanya dalam dua bulan setelah dirinya terpilih, Lailatul Ijtima’ Nahdlatul Ulama (LINU) terbentuk dengan jumlah anggota yang cukup membanggakan untuk sekelas perkumplan yang terbilang baru di sana.
Bahkan, dari informasi terbaru diperoleh bahwa pada Agustus mendatang terdapat satu perkumpulan warga yang akan bergabung dengan LINU. Selain itu, dalam beberapa momen penting yang digelar di ranting tersebut kerap dibanjiri warga.
Dari capaian dan upaya yang tidak setengah-setengah itu, dirinya seakan meyakinkan bahwa Soddara Timur dihuni oleh mayoritas warga Nahdliyin. Namun, karena kurangnya perhatian dari pengurusnya sendiri, akhirnya warga menurut Kiai Wahedi mudah terpengaruh oleh paham di luar Aswaja an-Nahdliyah, lebih-lebih pada momen politik yang memanfaatkan simbol agama.
Berangkat dari persoalan itulah, pria yang masih aktif sebagai tenaga pengajar di Babussalam itu menemukan cara terbaik dalam memberi pemahaman ke-NU-an kepada warganya. Tidak heran jika hanya dalam hitungan bulan, LINU di ranting tersebut menjadi perkumpulan yang diminati warga.
Lantas, siapa sebenarnya Kiai Wahedi yang kini menjadi pusat perhatian para aktivis NU Pasongsongan?
Pada 17 Februari 1970, Kiai Wahedi lahir dari pasangan K. Muhammad Said dan Ny. Sunarmi. Karena saat itu Ny. Sunarmi memilih tinggal bersama suaminya di Rubaru, Ketua Ranting NU Soddara Timur itu lahir di kecamatan tersebut. Selang beberapa tahun kemudian, pasangan suami istri itu menetap di Dusun Gaber, Desa Soddara, tempat Ny. Sunarmi lahir dan dibesarkan.
Setamat SD, Kiai Wahedi melanjutkan pendidikannya di Pondok Pesantren (Ponpes) Annuqayah, Guluk-Guluk. Selama 8 tahun ia nyantri di Ponpes tersebut hingga mampu merampungkan pendidikan madrasah aliyahnya dengan nilai yang cukup baik.
Pada 1990, Kiai Wahedi kembali ke desanya dan mengabdi di Lembaga Pendidikan Babussalam, Soddara. Selain itu, dirinya juga pernah mengajar di Lembaga Pendidikan Ar Raudlah, Rajun, Pasongsongan. Pada masa pengabdian tersebut, ia juga sempat menyelesaikan S1-nya di salah satu kampus di Sumenep.
Dirasa cukup lama membujang, pada 1997 Kiai Wahedi memutuskan menikah. Dari pernikahan tersebut, ia dikarunia empat orang anak.
Ketika Musyawarah Ranting (Musran) diselenggarakan secara serentak di setiap ranting se-Pasongsongan—tanpa terkecuali di Ranting NU Soddara Timur yang saat itu digelar pada 30 Maret 2021—Kiai Wahedi terpilih secara aklamasi sebagai ketua di ranting tersebut.
Mimilih Kiai Wahedi sebagai ketua di ranting Soddara Timur bukan tanpa alasan bagi peserta Musran saat itu. Selain kapasitas keilmuannya yang bisa dipertaruhkan, secara emosional Kiai Wahedi telah mengenal NU sejak kecil dari sang ayah, Kiai Said. Sementara Kiai Said merupakan orang yang pertama kali memperkenalkan NU di Soddara Timur.
Tidak heran jika usai terpilih sebagai ketua ranting, dirinya memiliki pengalaman spiritual bertemu KH. Ahmad Basyir AS meskipun hanya dalam mimpi. Namun, menurutnya hal itu sangat bermakna.
Dalam mimpi tersebut, Kiai Basyir menyapanya, “Hei, Santreh. Sengko’ matoro’ah NU ka be’na (Wahai santri, saya titipkan NU kepadamu).”
Dalam benak Kiai Wahedi bertanya, mengapa Kiai Basyir menitipkan NU justru di tengah acara yang digelar PKB. Semestinya beliau menitipkan PKB, bukan NU.
Peristiwa yang dianggap pengalaman spiritual ini pulalah yang juga mampu memompa semangat Kiai Wahedi hidupakan NU di Soddara Timur. Wallahu A’lam.
Ditulis oleh Redaktur bintangsembilannews.com
0 Komentar