Ra Dayat: Fiksi dan Nonfiksi Hakekatnya Sama

Ketua Lembaga Ta'lif wan Nasyr Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (LTN MWCNU) Pasongsongan Lora Syarif Hidayatullah Fajar mengatakan, karya fiksi dan nonfiksi pada hakekatnya sama.
 
Hal itu ia ungkapkan sebelum memberi materi teknis menulis berita dalam sekolah jurnalistik yang diselenggarakan Pengurus PAC IPNU-IPPNU Pasongsongan Selasa (13/06/2023) di Lantai Dasar Gedung KH. Wahab Hasbullah, Desa Panaongan, Kecamatan Pasongsongan.

“Hakekatnya, fiksi ataupun nonfiksi itu sama, yakni lahir dari sebuah riset dari seorang penulis tentang fakta dan persoalan. Yang membedakan keduanya hanya cara kepenulisan,” terangnya.

Bahkan yang diklaim sebagai karya ilmiah, lanjut pria yang akrab disapa Ra Dayat, bisa disebut hoaks jika tidak bersumber dari realitas yang sesungguhnya.

“Jokowi Undercover yang ditulis Bambang Tri merupakan salah satu contoh dari tulisan hoaks tersebut. Nah, itu bukan karya ilmiah, melainkan akumulasi dari kebencian sehingga lahirlah buku fitnah” tandasnya berkelakar.

Sebaliknya, cerpen atau novel yang mampu menguak fakta, bagi Ra Dayat dianggap sebagai pengetahuan yang bisa dijadikan rujukan semua orang.

“Ketika saya membaca Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, saya seakan diajak melihat dan merasakan gejolak politik tahun 1960-an, sedangkan pada saat itu rakyat dirundung kemiskinan, kelaparan, dan kebodohan,” ungkapnya.

Hal inilah yang membuat Ra Dayat dalam pengakuannya lebih mencintai buku-buku sastra dari pada karya yang dianggap ilmiah namun menyimpan banyak kepentingan.

“Dengan Tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer, saya akan lebih menghayati dan memahami tentang sejarah Indonesia pra kemerdekaan dari pada harus membaca buku-buku sejarah,” pungkasnya.      



Pewarta: Hamdan
Editor: Siti Sofiyah
Dokumen: MWCNU Pasongsongan

Posting Komentar

0 Komentar