Amara Naladipha

 

Arsip Wanto

Cerpen: Sasy Lintang*

Amara Naladipha, gadis dengan seluruh kesempurnaan yang ada pada dirinya. Paras yang cantik, hati yang baik, penyabar dan juga pintar. 

Tak sedikit lelaki yang telah menyatakan perasaannya pada Nala saat ia masih berada di bangku SMP, tapi tak pernah sekalipun Nala menerima pernyataan cinta itu.

Nala hanya memiliki satu-satunya orang tua, yaitu ayahnya. Ayah Nala sangat menyayangi putri tunggalnya. Semua permintaan sang putri selalu dituruti. Bunda Nala telah lama meninggal saat ia melahirkan Nala. Selain itu, ayah Nala adalah seorang CEO terkenal. Baik di dalam negeri, mau pun luar negeri. Perusahaannya berkembang pesat. Maka dari itulah, siapa yang tidak mengenal seorang Amara Naladipha?

Namun, kebahagiaan Nala hilang begitu saja saat ia dan ayahnya tertimpa sebuah kecelakaan beberapa tahun yang lalu, yang menyebabkan Nala harus menerima kenyataan bahwa ia mengalami lumpuh permanen. 

***

Penang, Malaysia, 20 Juni 2014
Mobil sport Tuan Aldebaran melaju kencang, membelah begitu padatnya Kota Penang.
Drrtt, drrrtt. Ponsel Tuan Aldebaran berbunyi, ternyata kliennya yang sedang menelpon.
"Halo Tuan Al, bagaimana dengan proyek kita?" tanya seseorang di seberang sana.
"Halo, Pak. Iya, Pak. Ini saya, sedang dalam perjalanan menuju kantor Bapak," jawab tuan Aldebaran.
"Ah, baik Tuan. Saya tunggu kedatangannya," balas sang klien dengan ramah.
Tuan Aldebaran terlalu fokus dan larut pada telponnya.
"Ayah, awas!" Nala berteriak sebelum kemudian benturan keras mobil sport yang ia tumpangi terjadi.  

Nala sadar dengan keadaan badannya yang lemas. Menurut dokter, Nala mengalami koma selama 2 minggu. Dokter juga menyampaikan, bahwa ia mengalami lumpuh permanen. Setengah tidak percaya, Nala hanya tertegun setelah mendengar kondisi tenang dirinya.

"Dok, di mana ayah saya?" tanya Nala, berkaca-kaca.
"Ayah Saudara," jawab sang dokter, terputus.
"Ada apa dengan ayah saya, Dok? Kenapa Dokter hanya diam saja?" Nala kembali bertanya sembari menyeka air matanya yang tak terasa telah membasahi pipinya.
"Ayah saudara telah meninggal karena kerasnya benturan pada kepalanya. Maafkan, kami. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin," terang dokter penuh haru.

Mendengar hal itu, hati Nala seketika itu hancur. Setengah tidak percaya, ia memekik, "dokter bercanda kan? Ini gak mungkin. Ayah saya pasti sedang menunggu saya. Di mana ayah saya!?"
"Saudara harus sabar. Saudara tidak boleh seperti ini. Saudara butuh istirahat. Jangan seperti ini, nona Nala." Dokter menenangkan Nala yang sedang berderai air mata.
"Ayah, Nala harus apa tanpa ayah?" ucapnya lirih. 

***

Setelah menjalani rawat inap selama beberapa hari, akhirnya Nala di perbolehkan pulang. Seakan tak menerima kepergian sang ayah, berhari-hari Nala hanya menangis dan mengurung diri dalam kamar. Belum lagi kenyataan dirinya yang lumpuh permanen, kiam membuat kehidupan yang harus dijalani Nala semakin getir.

Hingga pada suatu hari, saat dua orang sahabatnya, Tanara dan Milya, berupaya menghidupkan kembali semangat Nala dengan menjumpai dan mengajaknya pergi ke sebuah tempat.

"Eh, aku mau di bawa ke mana? Aku mau pulang! Lepaskan aku!" Nala berusaha memberontak.
"Nala, kita melakukan ini demi kebaikanmu. Bisa nggak tinggal ikutin aja?!" balas Tanara yang menolak ajakan Nala. Sampai akhirnya, tibalah mereka di sebuah tempat.
"Apa maksud kalian membawaku ke tempat ini? Apakah karena aku nggak punya orang tua, lantas kalian bawa aku ke panti asuhan ini!?" sergah Nala dengan sedikit emosi kepada kedua sahabatnya.
"Nala, bisa nggak kamu tidak berpikir negatif sama kita? Niatan kita baik, loh!" ucap Milya yang akhirnya tak tahan dengan sikap Nala.
"Sudahlah, terserah kalian saja. Aku capek," balas Nala yang membuat Tanara dan Milya tersenyum, hingga mereka bertiga berjalan menuju ruangan pemilik panti asuhan ini yang kebetulan adalah adik dari ibu Tanara.

Tanara dan Tante Wirda, pemilik panti itu mengobrol sejenak sebelum akhirnya Tante Wirda mengajak mereka bertiga menuju ke salah satu ruangan yang paling spesial di panti itu.

Pintu terbuka. Terlihat ada banyak anak-anak berumur sekitar 5 hingga 6 tahun. Mereka semua memiliki kekurangan masing-masing. Ada yang lumpuh, ada yang cacat, ada juga yang memiliki fisik tak sempurna.

Tante Wirda juga berkata, bahwa mereka semua yang ada di ruangan itu adalah anak-anak yang tidak memiliki orang tua. Nala akhirnya sadar, bahwa masih ada yang lebih parah darinya. Seorang anak kecil, dengan keterbatasan fisik, juga tidak memiliki orang tua. Kini Nala sadar, bahwa Tuhan itu Adil, dan Tuhan masih menyayanginya.

***

"Jadi, begitulah perjalanan hidup saya. Jujur, saya masih tidak menyangka atas kejadian 9 tahun lalu. Tapi saya memiliki 2 orang yang selalu mendukung dan menemani. Begitu pedihnya kejadian 9 tahun lalu itu. Mereka adalah Tanara dan Milya, sahabat yang selalu menyemangati saya dikala saya sedang jatuh. Terimakasih untuk kalian berdua," ucap Nala sembari tersenyum bangga pada kedua sahabatnya yang sedang duduk di ruang tamu.

Nala kini menjadi sukses. Ia tidak peduli akan kelumpuhan yang dialaminya. Setelah peristiwa itu, sedikit demi sedikit Nala bisa menerima kenyataan bahwa ia mengalami lumpuh permanen. Awalnya dia selalu overthinking takut akan mimpi-mimpinya tak bisa ia capai. Namun, sekarang ia sadar. Menjadi sukses tak perlu dengan kata “sempurna”. Ia hanya perlu belajar, dan belajar.

Acara telah selesai, banyak orang-orang yang menyapa Nala dengan senyum merekah.

Tanara mendorong kursi roda milik Nala menuju ke suatu tempat. Ya, itu adalah tempat di mana ayahnya dimakamkan. Nala berusaha turun dari kursi roda, dengan bantuan Tanara dan Milya.

"Ayah, lihat anakmu! Kini anakmu telah sukses! Ayah, apa kabar? Ayah udah ketemu bunda? Ayah bahagia terus ya di atas sana. Doakan semua langkah yang aku jalani ya, Yah. Love you so much, Yah," ucap Nala dengan keadaan yang sudah berderai air mata. Tanara dan Milya berusaha menenangkan Nala yang sedang menangis.

"Ayah, Nala pamit ya. Ayah baik-baik sama bunda di atas sana. Dada, Ayah," ucap Nala dengan senyum dan air mata yang masih mengalir.

"Satu yang ayah dan bunda harus tahu. Ayah, bunda, Nala rindu," ungkap Nala sambil memandang nisan milik ayah dan bundanya, sebelum akhirnya meninggalkan tempat pemakaman ayah dan bundanya.


Pasongsongan, 2024 

*Sasy Lintang adalah nama pena dari Annisa Bilbina. Lahir di Sumenep, 07 November 2010. Mulai menulis sejak duduk di bangku kelas VI MI An Najah Pasongsongan. Penulis juga pernah memenangkan juara 2 lomba Sains IPA tingkat kabupaten, menjadi Peserta Finalis lomba Matematika tingkat Nasional.

Saat masuk di SMPN 1 Pasongsongan, dia mengikuti ajang Pra Olimpiade Sains Nasional tingkat kabupaten dan berhasil menjadi peserta semifinal. Selain itu, dia juga memiliki hobi travelling. Terlebih ke Yogyakarta. Selengkapnya tentang penulis bisa dilihat di 𝘐𝘎: @ssiemiuww. 

Posting Komentar

0 Komentar